Selasa, 21 Januari 2014

Ketika Jari Jemari Menari.


  • Di istana hatimu, aku sang penjaga pintu. Meski tanpa belati aku mampu membunuh sepi yang berniat melukai.
  • Kadang matamu sanggup runtuhkan kekang rindu, entah pada siapa senyummu ber-guru.
  • Ratusan hari buatku menua, ribuan kehidupan buatku membeku. Aku di sini tanpamu, tapi kau masih di kesunyian pikiranku.
  • Jarum jam mereguk pahit sendiri. Gugur berganti semi, akhirnya ia menepi, setelah tersadar daun gugurnya takkan kembali.
  • Syairmu, kekasih. Tak sanggup kuraba rimanya. Sebab tiap baitnya meneteskan airmata yang mengema.
  • Lihatlah, perempuan renta memeluk sunyi di sudut langit. Mengepak rembulan sebelum pagi datang menjelang.
  • Di kantung mataku tersimpan segala kesedihan: Kamu, orang yang memelihara airmataku.
  • Cintailah aku cinta, sebagaimana mukenahmu yang tak pernah luput memeluk sajadah.
  • Kusapu daun-daun cinta di taman kesepian. Setiap hari aku coba membersihkan, setiap detik pohon menjatuhkan.
  • Ku lukis pelangi di matamu setelah hujan, agar langitmu menjadi indah, dan berharap ada kebahagiaan setelah kesedihan.
  • Seperti wanita, cinta adalah mereka, serupa liuk tubuh dan senyumannya, itulah seindah-indahnya surga.
  • Biarlah ku simpan rindu sendiri, berserah aku berkawan sepi, meski tak sampai padamu, tetap ku detakkan dalam hatiku.
  • Hujan telah usai, namun mendung tak juga pergi. Seperti juga senyuman yg menahan duka di sela-sela air mata.
  • Hanya dengan puisi, aku bebas mencurahkan segala isi dalam hati, sebab di dekatmu, kehilangan selalu membuatku ketakutan.
  • Sedemikian kecilkah kemungkinan itu, sehingga cinta memilih bungkam, mengunci rapat-rapat perasaan dari pintu kenyataan.
  • Adakah yang lebih tegar dari sebuah keihklasan, ketika peluk kehilangan tangan, airmataku selalu jatuh bercucuran.
  • Dan dia pulang ditengah kegelapan. Jam berhenti berdetak, dan maut; terbunuh kesedihannya.
  • Melumat habis semua aksara, sejerumput kenangan merimbun di kepala, airmataku jatuh menggapai kita.
  • Cakrawala biru membentang, samudra luas bergelombang, se-garis menyatu walau jauh terpisah jarak dan waktu. Itulah kau dan aku.
  • Cinta, sekuat ingatan kumelupakan, sederas hujan kau membasahiku dengan kenangan
  • Tubuh kita berjauhan, hati kita tidak sepasang. Maka puisi di ciptakan sebagai jembatan, kita berdua telah di pertemukan.
  • Kau memilih pagi yang cerah untuk berpisah. Nanti akan terkenang pada hujan yang paling basah.
  • Ketika pagi mulai meninggi, ajari aku mengecup keningmu. Agar kelak bias cahayanya mengingatkanku pada hangatnya kecupanmu.
  • Sehelai kelopak jatuh dari mahkota. Setelah satu dasawarsa, sang kupu-kupu tak jua datang mengecupnya.
  • Ada masanya, ketika kita buka hati masing masing dan mulai bertanya tanya. Kiranya risalah rindu akan selalu rahasia.
  • Kelak kubawa terbang kau kesana, melihat surga menapaki jembatan-jembatan cinta yang terbuat dari doa-doa kita di dunia.
  • Akan aku selamatkan hatimu, jika dengan itu, kau sematkan cinta. *di dadaku.
  • Lalu kau biarkan aku memungut sisa hatiku sendiri. Yang di sebelum kau pergi, kau bunuh dengan puisi.
  • Semendung hati merindukan, senandung ini ku lantunkan, rintik wajahmu kekasih, ketukan hati bagi yang kupilih.
  • Malam berkisah, tentang rindu yang kian resah. Sebab ada gundah yang membuat semua penantian jadi tak indah.
  • Kututupi pedih lewat tawa yang berderai. Kau penyimpan sedih yang pandai, kini pemilik air mata yang menganak sungai.
  • Sebab, kedua matamu ialah jurang tempat airmataku diciptakan, tempat kuselami kesedihanmu lebih dalam.
  • Hujan kekal di pelukanmu, entah apa yang kau rapal dengan syahdu. Aku dan gigilku sedang berjibaku di sela kekal pelukanmu.
  • Aku ingin mencintaimu, lebih tenang dari tidur, lebih pagi dari embun.
  • Aku terbiasa mencintaimu, sebagaimana aku membiasakan diri, merawat jantungku.
  • Di segala tentang di segala waktu, aku boleh lupa segalanya, selain melupakanmu.
  • Tentang kehilangan, aku yang takdir langit, melukis tiap warna kesedihan sebagai pelangi yang belum sempurna.
  • Di kedua matamu mengalir sungai mencari muara, menggenangi wajah lalu hati menjadi samudera. Aku membuat perahu menuju hatimu.
  • Kerana cinta tak hanya kisah bahagia namun juga luka, maka saat jatuh cinta kau harus rela menjadi obat untuk kesembuhannya.
  • Percuma kau jatuhkan cintamu yang hujan. Aku telah berteduh di bawah payung kesayangan.
  • Bangku taman beku, jutaan butir salju lahir dari matamu. Entah kapan, rindu mencair menunggu kamu.
  • Kau menulis puisi dengan berlinang air mata. Kata-kata membakar diri di dalamnya, dan seorang penyair; tiada.
  • Dan kau pulang. Melewati jalan-jalan yang dilupakan ingatan. Jam berdetak, menghalau maut dari pundakmu; di perjalananmu.
  • Dengan cara melepasmu, mungkin akan membuatmu tahu. Bahwa aku yg sebenarnya kamu cintai, tapi kamu selalu malas mengakui.
  • Aku ingin kamu tak hanya sebatas mimpi di malam ini, tapi aku menginginkanmu sampai kumati.
  • Tinggi rendahnya kursi selalu di sesuaikan dengan meja; aku tak mengerti soal kasta yg kutahu semua terlihat sama dimata cinta.
  • Beri aku kepedihan, namun jangan bungkam aku dengan perpisahan. Kehilangan, adalah kata yang tak bisa kuterima.
  • Sebab aku tak ingin salah menaruh hati, maaf bila aku banyak memilih, bagiku sudah merasakan perih.
  • Bukan rindu jika tanpa perpisahan, melainkan cinta dan doa yang menjumpaimu kala kau larut dalam kesedihan.
  • Dalam sebuah laci, kenangan kususun rapi. Aku selalu menengokinya, terkadang dengan tawa, terkadang dengan airmata.
  • Sejak kau tak lagi menyapa. Pagi, tak lagi ku nikmati aroma kamu, yang mengendap di cangkir kopiku.
  • Seringkali, rintik hujan dipipi adalah ketabahan. Pada cinta kerap melukai dengan cara yang tidak dimengerti.
  • Pada cangkir kopi kukecup sepi, sekedar menangkal nyeri. Untuk cinta yang tak kunjung henti melukai.
  • Di dadaku, kau lantun getirkan bait-bait rindu, ini pedih tanpamu, cinta perih melandaku.
  • Dan maafkan aku, yang lebih mencintai sebuah bayangan semu. Karena ada mu, bukan tercipta satu dari tulang rusukku.
  • Tanyakan pada hatimu sebelum ingin bersamaku tentang seberapa tabah ia dengan gelisah, karena cintaku; sayap sayup pasrah.
  • Berdebar jantungku menghela, nafas resah berkalut di hati, kau serupa senja yg tak termiliki, sejenak datang berlalu pergi.
  • Sejak cinta merebut, dan rindu membuatku hanyut, sajak-sajak serasa patah, aku tersentak kalah.
  • Maka biarkanlah aku mencintaimu dalam diam, jika bagimu memiliki adalah sesuatu yang berlebihan.
  • Awan, ajari kami keihklasan seperti caramu menjatuhkan hujan, tiada sesal dan kepedihan atas semua garis Tuhan.